Trusted Intelligence – AI + Blockchain untuk Kebijakan Publik Indonesia

written by: Fransiskus Paranso (CPO 

Executive Summary

Trusted Intelligence menjawab krisis kepercayaan dan inefisiensi kebijakan dengan mengintegrasikan AI dan Blockchain. Dalam ekosistem ini, AI bertindak sebagai “otak” yang menganalisis data untuk keputusan presisi, sementara Blockchain menjadi “tulang punggung” yang mencatat setiap transaksi secara permanen dan transparan. Sinergi ini memungkinkan eksekusi otomatis (smart contract) yang memangkas birokrasi, mencegah korupsi, dan berpotensi menghemat anggaran hingga triliunan rupiah per tahun. Paradigma ini mengubah layanan publik dari model “Trust Us” menjadi “Verify with Us”, menjamin kebijakan yang cerdas, aman, dan dapat diaudit secara real-time.

  1. Krisis Kepercayaan di Era Digital Indonesia

Indonesia berada di tengah pusaran transformasi digital yang tak terelakkan. Didorong oleh bonus demografi, penetrasi internet yang masif, dan dipercepat secara dramatis oleh pandemi COVID-19, digitalisasi telah merambah ke setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah merespons dengan meluncurkan berbagai inisiatif ambisius, mulai dari Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) hingga program Satu Data Indonesia, semuanya dengan janji untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efisien, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan warganya. Harapannya jelas: data akan menjadi fondasi kebijakan yang cerdas, dan teknologi akan menjadi akselerator pelayanan publik yang prima.

Namun, di balik narasi optimisme ini, sebuah krisis fundamental tengah mengemuka secara senyap namun pasti: krisis kepercayaan. Paradoksnya, teknologi yang seharusnya membangun jembatan kepercayaan justru membuka celah-celah kerentanan baru. Data, yang digadang-gadang sebagai “minyak baru” pembangunan, kini juga menjadi sumber kecemasan terbesar bagi publik dan tantangan terberat bagi pemerintah. Krisis ini berdiri di atas dua pilar yang rapuh dan saling berhubungan.

Pilar pertama adalah erosi kepercayaan akibat kerentanan data dan keamanan siber. Serangkaian insiden kebocoran data berskala masif dalam beberapa tahun terakhir telah mengoyak rasa aman warga negara. Mulai dari dugaan bocornya data kependudukan, data registrasi SIM Card, data pasien di fasilitas kesehatan, hingga kasus fenomenal “Bjorka” yang secara terbuka mengklaim telah membobol sistem data lembaga-lembaga strategis negara. Insiden-insiden ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan kepada publik: bahwa data pribadi yang mereka serahkan kepada negara untuk tujuan pelayanan, kini tidak lagi aman. Kepercayaan warga terhadap kemampuan negara untuk bertindak sebagai penjaga data yang andal berada di titik terendah.

Pilar kedua adalah erosi kepercayaan akibat inefisiensi dan penyelewengan dalam implementasi kebijakan. Program-program vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti penyaluran Bantuan Sosial (Bansos), kerap diwarnai oleh masalah klasik: data penerima yang tidak akurat (DTKS), salah sasaran (exclusion and inclusion error), dan celah korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah. Publik menyaksikan bagaimana niat baik kebijakan seringkali terdistorsi di tingkat implementasi. Hal ini melahirkan sinisme dan apatisme, di mana warga merasa bahwa sistem yang ada tidak adil, tidak transparan, dan tidak dapat diaudit secara independen oleh mereka sebagai penerima manfaat.

Kombinasi dari kedua pilar ini menciptakan sebuah lingkaran setan defisit kepercayaan. Di satu sisi, warga ragu untuk memberikan data mereka karena takut disalahgunakan atau bocor. Di sisi lain, tanpa data yang akurat dan terpercaya dari warga, pemerintah kesulitan merancang dan mengeksekusi kebijakan yang efektif dan tepat sasaran. Akibatnya, biaya untuk verifikasi, audit, dan pengawasan membengkak, sementara hasil kebijakan tidak optimal dan legitimasi pemerintah di mata publik terus tergerus.

Kita kini berada di persimpangan jalan. Melanjutkan pendekatan digitalisasi konvensional—yang fokus pada digitalisasi proses tanpa membangun fondasi kepercayaan yang kokoh—hanya akan memperdalam krisis ini. Mundur ke era analog bukanlah sebuah pilihan. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan sebuah lompatan paradigma.

Untuk keluar dari krisis ini, kita tidak bisa lagi hanya “menggunakan” teknologi, melainkan harus “menanamkan kepercayaan” ke dalam arsitektur teknologi itu sendiri (trust by design). Pertanyaannya bukan lagi “bagaimana kita mengamankan data?”, melainkan “bagaimana kita menciptakan ekosistem di mana setiap data dan transaksi dapat diverifikasi kebenarannya oleh siapa pun yang berwenang, kapan pun, tanpa memerlukan perantara yang mahal dan rentan?”

Bab-bab selanjutnya akan mengupas sebuah kerangka kerja konseptual dan teknis, “Trusted Intelligence”, yang mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) dengan jaminan matematis dari teknologi Blockchain. Ini adalah sebuah proposal untuk membangun generasi baru kebijakan publik di Indonesia—kebijakan yang tidak hanya cerdas secara analitis, tetapi juga terpercaya secara inheren, auditable secara real-time, dan pada akhirnya, mampu memulihkan modal sosial paling krusial dalam sebuah negara: kepercayaan antara pemerintah dan warganya.

  1. Trusted Intelligence Concept

Menjawab tantangan krisis kepercayaan yang kompleks, solusi yang ditawarkan tidak boleh bersifat tambal sulam atau parsial. Kita tidak bisa sekadar menambah lapisan keamanan baru di atas sistem yang rapuh, atau hanya membeli perangkat lunak canggih tanpa mengubah proses fundamentalnya. Indonesia memerlukan sebuah paradigma baru dalam merancang dan mengelola kebijakan publik di era digital. Paradigma tersebut kami namakan “Trusted Intelligence”.

Trusted Intelligence adalah sebuah kerangka kerja strategis dan teknis yang secara fundamental mengintegrasikan dua teknologi transformatif: Kecerdasan Buatan (AI) dan Blockchain. Ini bukanlah penggabungan yang acak, melainkan sebuah perkawinan sinergis di mana kekuatan masing-masing teknologi secara spesifik menutupi kelemahan satu sama lain, untuk menghasilkan sebuah sistem yang tidak hanya cerdas (intelligent), tetapi juga terpercaya (trusted) secara inheren.

Untuk memahaminya secara sederhana, kita bisa menggunakan analogi tubuh manusia. Dalam kerangka ini:

  • AI berperan sebagai Otak (The Brain): Ia memiliki kemampuan untuk memproses informasi dalam volume masif dan kompleksitas tinggi, belajar dari pola, membuat prediksi, dan merekomendasikan keputusan yang optimal. AI memberikan kecerdasan pada sistem.
  • Blockchain berperan sebagai Tulang Punggung dan Sistem Saraf (The Spine & Nervous System): Ia menyediakan struktur yang kokoh, tidak dapat diubah (immutable), dan transparan untuk mencatat setiap keputusan dan transaksi. Ia memastikan bahwa “perintah” dari otak tercatat dengan jujur dan tersampaikan tanpa bisa dimanipulasi. Blockchain memberikan integritas dan kepercayaan pada sistem.

Peran Kecerdasan Buatan (AI): Menciptakan Kebijakan yang Cerdas

Fungsi utama AI dalam kerangka Trusted Intelligence adalah mengolah “kekacauan” data menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti. Di tangan AI, tumpukan data mentah dari berbagai sumber—seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), data kependudukan, data konsumsi listrik, data satelit—dapat dianalisis untuk:

  1. Meningkatkan Akurasi Penargetan: AI dapat membangun model skor kelayakan dinamis untuk penerima bantuan sosial, mengurangi exclusion/inclusion error secara signifikan.
  2. Mendeteksi Anomali dan Potensi Fraud: Algoritma AI mampu mengidentifikasi pola-pola transaksi yang mencurigakan secara real-time, yang seringkali luput dari pengawasan manual.
  3. Optimalisasi Sumber Daya: AI dapat memprediksi kebutuhan layanan di suatu daerah, memungkinkan alokasi anggaran dan logistik yang jauh lebih efisien. Singkatnya, AI mengubah pemerintahan dari reaktif menjadi proaktif dan dari “satu ukuran untuk semua” menjadi personal dan presisi.

Peran Blockchain: Membangun Kepercayaan yang Dapat Diverifikasi

Namun, secanggih apapun AI, ia memiliki kelemahan inheren: seringkali beroperasi sebagai “kotak hitam” (black box) dan output-nya hanya akan sebaik kualitas data inputnya (garbage in, garbage out). Di sinilah Blockchain mengambil peran krusial sebagai fondasi kepercayaan. Fungsi utamanya adalah:

  1. Menciptakan Jejak Audit Abadi (Immutable Audit Trail): Setiap keputusan yang dihasilkan oleh AI (misalnya, daftar final penerima Bansos), setiap alokasi anggaran, dan setiap transaksi penyaluran dicatat sebagai sebuah blok transaksi yang terenkripsi dan terhubung secara matematis. Catatan ini tidak dapat diubah, dihapus, atau disangkal oleh siapa pun.
  2. Menjamin Transparansi Terkendali: Lembaga yang berwenang (seperti BPK, KPK) dan bahkan publik dapat diberikan akses untuk memverifikasi alur proses tanpa bisa mengubah datanya. Warga dapat mengecek status bantuan untuk NIK-nya secara mandiri, memastikan haknya terpenuhi sesuai aturan.
  3. Mengotomatisasi Proses Melalui Smart Contract: Aturan-aturan kebijakan dapat diprogram ke dalam smart contract. Contoh: “JIKA NIK terverifikasi sebagai penerima oleh sistem AI DAN anggaran telah dialokasikan, MAKA secara otomatis kirimkan voucher digital senilai RpX ke dompet digital warga.” Ini menghilangkan perantara, memangkas birokrasi, dan mengurangi celah intervensi manusia yang tidak perlu.

Sinergi Emas: Mengapa Keduanya Lebih Kuat Bersama

Kekuatan sejati “Trusted Intelligence” terletak pada simbiosis mutualisme antara AI dan Blockchain.

  • Blockchain “menjinakkan” AI: Dengan mencatat data input, model, dan output AI ke dalam Blockchain, masalah “kotak hitam” AI dapat dimitigasi. Ia menciptakan jejak yang dapat diaudit, memastikan AI bekerja secara adil dan akuntabel.

AI “membersihkan” untuk Blockchain:

AI memastikan bahwa data yang akan dicatat secara permanen di Blockchain adalah data yang sudah bersih, terverifikasi, dan berkualitas tinggi, sehingga mengatasi masalah “sampah masuk, sampah keluar” pada Blockchain.

Pada akhirnya, Trusted Intelligence mengubah fundamental kontrak sosial antara pemerintah dan warga. Sistem ini beralih dari model pemerintahan yang meminta kepercayaan buta (“trust us”) menjadi model yang mengajak partisipasi dalam verifikasi (“verify with us”). Ini adalah fondasi untuk membangun layanan publik yang tidak hanya efisien dan efektif, tetapi juga memiliki legitimasi yang kokoh karena setiap prosesnya terbuka untuk diaudit dan setiap hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara matematis.

  1. Trusted Intelligence in Action

Analogi Inti: Kecerdasan Analitis dan Pencatat Transparan

Bayangkan proses di mana sebuah keputusan penting dibuat dan kemudian dieksekusi dengan akurat. Anda memerlukan dua elemen utama:

  • Sang Kecerdasan Analitis (Peran AI): Sebuah sistem cerdas yang mampu memproses berbagai informasi kompleks—data, pola, dan tujuan yang ditetapkan. Sistem ini akan menganalisis semua informasi tersebut untuk menghasilkan draf keputusan atau rekomendasi yang paling optimal, logis, dan tepat sasaran. Ia memberikan kecerdasan dan rekomendasi.
  • Sang Pencatat Transparan (Peran Blockchain): Setelah draf keputusan final disetujui, keputusan ini diserahkan kepada sebuah sistem pencatat yang sangat canggih. Sistem ini (Blockchain) akan melakukan tiga hal:
    • Mencatat: Ia mencatat keputusan tersebut dalam sebuah buku besar yang disaksikan oleh semua pihak yang berwenang dan tidak bisa diubah atau dipalsukan oleh siapa pun. Ini memberikan kepastian dan integritas.
    • Menyegel: Ia memberikan segel digital yang unik (enkripsi) pada catatan tersebut, memastikan keasliannya.
    • Mengeksekusi Otomatis: Jika ada perintah yang telah diprogram sebelumnya dalam keputusan tersebut (misalnya, “JIKA kondisi X terpenuhi, MAKA secara otomatis lakukan tindakan Y”), sistem pencatat ini (Smart Contract) akan secara otomatis menjalankan perintah itu tepat seperti yang tertulis, tanpa perlu campur tangan manual.

Sinerginya: Kecerdasan analitis tanpa sistem pencatat akan menghasilkan rekomendasi brilian yang bisa hilang, diubah, atau diragukan. Sebaliknya, sistem pencatat yang andal tanpa kecerdasan analitis hanya akan merekam keputusan yang mungkin tidak optimal atau efisien. Trusted Intelligence mengawinkan keduanya: AI memberikan ketepatan pada keputusan, sementara Blockchain memberikan kepastian pada pelaksanaannya.

Studi Kasus: Alur Kerja Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos)

  1. Integrasi Data: Sistem menarik data dari berbagai silo pemerintah yang sebelumnya terpisah (DTKS, Dukcapil, dll.). Data ini dibersihkan dan diintegrasikan untuk menciptakan profil 360 derajat dari setiap calon penerima.
  2. Analisis & Rekomendasi AI (Pekerjaan Sang Otak): Model AI yang telah dilatih kemudian “membaca” jutaan profil ini. Ia memberikan skor kelayakan berdasarkan kriteria yang kompleks (misalnya, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, status kepemilikan aset, konsumsi listrik). Hasilnya adalah sebuah draf “Daftar Calon Penerima” yang paling akurat dan objektif.
  3. Persetujuan & Pencatatan (Tangan Sang Notaris): Daftar rekomendasi dari AI ini tidak langsung dieksekusi. Daftar ini diserahkan kepada pejabat yang berwenang (misalnya, Menteri Sosial) untuk persetujuan akhir (human-in-the-loop). Setelah disetujui, keputusan ini “ditandatangani” secara digital dan menjadi sebuah “transaksi” yang dikirim ke jaringan Blockchain.
  4. Pencatatan Permanen: “Transaksi” berisi daftar penerima final ini dicatat di Ledger Blockchain. Mulai detik ini, daftar tersebut menjadi permanen, tidak dapat diubah, tidak dapat dihapus, dan memiliki jejak waktu yang pasti. Ini adalah momen “pencatatan oleh notaris”.
  5. Eksekusi Otomatis (Perintah Sistem Saraf): Pencatatan transaksi di Blockchain secara otomatis memicu Smart Contract yang telah diprogram. Smart Contract tersebut langsung menjalankan perintah: “Kirimkan dana/e-voucher Bansos senilai RpX ke dompet digital yang terhubung dengan setiap NIK dalam daftar transaksi ini.” Proses ini terjadi tanpa campur tangan manual lebih lanjut, memangkas birokrasi dan celah korupsi.
  6. Verifikasi & Audit Transparan:
    1. Untuk Auditor: BPK, KPK, dan pengawas internal memiliki akses ke dashboard yang membaca langsung dari Ledger Blockchain. Mereka bisa melihat seluruh jejak digital secara real-time: dari mana sumber data, siapa saja yang masuk daftar, dan ke mana saja uang disalurkan, lengkap dengan waktu dan jumlahnya.
    2. Untuk Warga: Setiap warga negara dapat mengakses portal publik, memasukkan NIK-nya, dan memverifikasi statusnya langsung dari data yang sama di Blockchain. Tidak ada lagi ketidakpastian informasi.

Melalui alur kerja ini, Trusted Intelligence mengubah proses yang sebelumnya buram, lambat, dan rentan menjadi sebuah siklus yang cerdas, cepat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak.

  1. Contoh Use-Case Indonesia untuk Trusted Intelligence

Bicara soal transformasi digital, ujung-ujungnya pasti kita bertanya: “Apa untungnya buat warga?” Nah, Trusted Intelligence ini bukan sekadar proyek gimmick teknologi. Dampaknya “nendang” banget buat dompet negara dan keadilan sosial. Ini beberapa contoh use case yang mungkin dibantu dengan konsep Trusted Intelligence.

  1. Manfaat dan Dampak

Kita sering skeptis sama proyek teknologi pemerintah, kan? Tapi konsep Trusted Intelligence beda. Ini bukan cuma soal ganti kertas jadi aplikasi, tapi soal menyelamatkan uang rakyat secara nyata. Bayangkan, dengan sistem ini, potensi kebocoran anggaran bantuan sosial bisa ditambal hingga lebih dari Rp 1,8 triliun per tahun. Kenapa? Karena ada “polisi robot” bernama Smart Contract yang hanya akan mencairkan dana kalau datanya valid, sehingga tidak ada lagi cerita bantuan salah sasaran atau dana “disunat” di tengah jalan.

Dibawah ini adalah beberapa contoh potensi manfaat dan dampak yang diperoleh dari Trusted Intelligence

  1. Pilihan Teknologi

Ketika kita berbicara tentang mengadopsi teknologi untuk negara, kita tidak sedang memilih satu ukuran baju untuk semua orang. Dalam arsitektur Trusted Intelligence, kearifan lokal dalam mengelola data menjadi kunci. Kita memilah dengan cermat: mana “ruang privat” yang harus dijaga ketat, dan mana “halaman depan” yang boleh dilihat siapa saja.

Untuk urusan yang menyangkut perut dan privasi rakyat seperti data penerima Bansos, rekam medis (EMR), atau sertifikat tanah maka negara tidak boleh berkompromi. Di sinilah kita menggunakan pendekatan Permissioned atau Consortium Blockchain. Bayangkan ini sebagai sebuah ruang rapat terbatas yang kuncinya hanya dipegang oleh aliansi di Kementerian dan Lembaga negara. Infrastrukturnya tetap terdesentralisasi agar tidak ada satu pihak yang bisa memanipulasi data semau hati. Kita mendapatkan keamanan teknologi tanpa mengorbankan kedaulatan data.

Namun, untuk hal-hal yang menuntut kepercayaan publik mutlak, seperti transparansi penggunaan APBN atau hasil e-Voting, kita perlu berani membuka diri. Kita manfaatkan Public Network. Di zona ini, transparansi adalah panglima. Masyarakat, media, hingga pengawas independen dipersilakan “mengintip” buku besar negara secara real-time. Terdengar seperti utopia, tapi jika kita ingin membuat negeri ini lebih baik maka tak salah jika kita mencobanya.

Dengan strategi hibrida ini, pemerintah tidak hanya terlihat canggih, tetapi juga bijaksana. Kita melindungi apa yang harus dilindungi, dan membuka apa yang memang menjadi hak publik untuk tahu. Inilah keseimbangan teknologi yang sebenarnya.

  1. Stakeholders

Membangun sistem Trusted Intelligence itu ibarat menggelar sebuah konser besar. Kita tidak bisa hanya mengandalkan satu pemain saja; teknologi secanggih apa pun akan lumpuh tanpa kolaborasi manusianya. Di sinilah konsep “Gotong Royong Digital” atau koalisi multi-aktor menjadi nyawa utamanya.

Dalam ekosistem ini, Pemerintah tidak lagi bekerja sendirian di ruang sunyi. Pemerintah berperan sebagai pengatur yang mengatur irama dan aturan main. Sementara itu, teman-teman dari sektor swasta dan akademisi hadir sebagai “dapur inovasi”, memastikan “otak” AI yang kita pakai tetap cerdas, tidak bias, dan teruji secara ilmiah.

Namun, transformasi yang paling menarik justru terjadi pada Warga Negara. Kita tidak lagi ditempatkan sekadar sebagai objek pasif penerima bantuan. Di sini, warga “naik kelas” menjadi mitra aktif yang bisa memverifikasi layanan sendiri—mengecek apakah hak mereka sudah sesuai—langsung melalui transparansi Blockchain.

  1. Risiko & Mitigasi

Mari kita bicara jujur: tidak ada teknologi yang berfungsi seperti tongkat sihir, termasuk Trusted Intelligence.

Di balik potensinya yang memukau, tersimpan risiko yang jika diabaikan bisa menjadi “senjata makan tuan” bagi negara. Risiko klasik “Garbage In, Garbage Out”; jika data yang masuk ke “otak” AI itu kotor atau bias, maka Blockchain hanya akan berfungsi sebagai “mesin fotokopi” yang mengabadikan kesalahan tersebut selamanya. Belum lagi tantangan teknis seperti celah keamanan pada smart contract atau ketidaksiapan regulasi kita menghadapi perubahan secepat ini.

Namun, ancaman terbesar mungkin bukan pada mesinnya, melainkan dampaknya pada manusia. Ada kekhawatiran tentang bias algoritma yang bisa mendiskriminasi kelompok rentan, hingga risiko melebarnya kesenjangan digital yang justru meminggirkan warga yang belum memiliki akses internet atau gadget canggih.

Oleh karena itu, strategi mitigasi bukanlah sekadar pelengkap, melainkan dasar keselamatan. Kita menyiapkan “sabuk pengaman” berlapis: mulai dari audit kode yang ketat, pembentukan regulatory sandbox untuk uji coba aman, hingga komitmen layanan hybrid (digital dan manual) agar tidak ada satu pun warga yang tertinggal. Inovasi memang butuh keberanian untuk melangkah, tapi keberanian itu harus disertai kewaspadaan yang terukur.

Berikut adalah matriks beberapa risiko yang harus dimitigasi sebelum mengadopsi konsep Trusted Intelligence.

Kesimpulan yang Bisa Kita Ambil

Mari kita berhenti sejenak dan menatap cermin realitas bangsa ini. Kita sedang berlari kencang menuju transformasi digital, tapi pertanyaannya: Apakah kita berlari ke arah yang benar, atau kita hanya memindahkan benang kusut birokrasi dan celah korupsi dari kertas ke aplikasi? Atau malah aplikasi tersebut diciptakan sebagai celah untuk korupsi baru?

Jika transformasi digital hanya sekadar membuat aplikasi tanpa membenahi fondasi kepercayaan, kita tidak sedang menciptakan solusi. Kita hanya sedang melakukan “Digitalisasi Masalah”. Data yang bocor, bansos yang salah sasaran, hingga anggaran yang menguap bukan lagi sekadar kesalahan teknis, tapi itu adalah sinyal bahwa sistem kita rapuh dan tanpa arah.

Pilihan ada di tangan kita hari ini, bertahan dengan cara lama atau berani Melompat ke Trusted Intelligence: Mengawinkan kecerdasan AI dengan kejujuran brutal dari Blockchain. Membangun sistem yang punya “otak” cerdas untuk melayani rakyat, tapi juga punya “tulang punggung” yang tegak lurus dan tak bisa disuap. Masa depan Indonesia tidak boleh lagi dibangun di atas jargon “Trust Us” (Percayalah pada kami, nanti kami urus). Masa itu sudah habis. Era baru menuntut paradigma “Verify with Us” (Mari verifikasi bersama kami). Rakyat berhak tahu, rakyat berhak mengecek, dan rakyat berhak mendapatkan bukti matematis bahwa hak mereka aman—bukan sekadar janji manis dari yang menjalankan sistem saat ini. Ingatlah, teknologi secanggih apa pun hanyalah alat mati tanpa nyawa.

 

Scroll to Top

Certificate ISO 9001

Baliola has been certified with ISO 9001, which means the company has officially met international standards for quality management, demonstrating that its processes are well-organized, consistent, and focused on delivering high-quality products and services while continuously improving overall performance

Trademark Certificate Baliola

The trademark certificate for the name Baliola confirms that the brand is legally registered and its rightful owner is I.G.P. Rahman, the CEO of Baliola, giving him full authority to use, manage, and protect the Baliola trademark.

The Copyright Certificate for Mandala Application Chain

The copyright certificate for Mandala Application Chain confirms that Baliola is the legitimate copyright holder, granting full rights to use, develop, and protect the work from any unauthorized use.

The Copyright Certificate for Mandala Chain

The copyright certificate for Mandala Chain confirms that Baliola is the legitimate copyright holder, granting full rights to use, develop, and protect the work from any unauthorized use.

Biggest 10 google AI boothcamp for
MEDISA

MEDISA was selected in the list of the Top 10 Biggest AI Bootcamps from Google Hackathon.

1st Winner Infinity Hackaton OJK
x EKRAF

OJK Infinity Hackathon is a collaboration between OJK, the Indonesian Blockchain Association (ABI), and BlockDevId to gather the best innovators and talents.

International Visitor Leadership Program (IVLP)

Baliola’s CEO was selected as a representative in the 2025 International Visitor Leadership Program (IVLP), a professional exchange program sponsored by the U.S. Department of State.

SWC Grand Finalist San Franscisco 2024

Baliola was crowned the Grand Finalist of the Startup World Cup (SWC) Indonesia Regional and will represent Indonesia to compete in the global Grand Final held in Silicon Valley, San Francisco.

Swacitta Nugraha Awards

The Bali Suwacita Nugraha is an award given by the Provincial Government of Bali to individuals or groups who have successfully created creative innovations in the field of technology that provide tangible benefits to the community.

Startup World Cup Bali 2024

Startup World Cup Bali 2024 is a regional startup competition organized by Bali Tech Startup, Primakara University, and Pegasus Tech Ventures with the aim of finding a startup to represent Indonesia in the “Startup World Cup” global pitching competition in Silicon Valley.